Rabu, 03 Februari 2016

PSIKOLOGI & TEKNOLOGI INTERNET

-          Nama                     : Ashfiya Hilyah Awlitya
-          NPM                     : 11514739
-          Chapter                 : 2 “Children and The Internet”

Anak - Anak dan Internet
            Internet adalah lingkungan virtual yang luas. Anak-anak dapat mengakses banyak informasi dari internet. Mereka dapat berkomunikasi, seperti berbagai pengalaman dengan orang lain dari seluruh dunia, mendengarkan musik dari seluruh dunia, dan hal-hal yang bermanfaat lainnya. Namun, disisi lain anak-anak dapat melakukan hal-hal yang buruk. Seperti ajakan seksual, predasi, cyber bullying, dan pelecehan. Bagaimana kita dapat membantu mereka meningkatkan aspek kognitif, tapi disisi lain juga melindungi mereka dari sisi gelap internet?
            Meskipun media berita cepat untuk melaporkan setiap situasi atau kejadian dimana anak-anak terpengaruh oleh internet, tapi kita baru belajar tentang penggunaan anak-anak dari internet. Kita perlu pendekatan yang menumbuhkan prinsip anak-anak untuk memahami lingkungan baru ini dan interaksi yang baik dengan internet karena anak-anak merupakan sasaran yang empuk bagi predator seksual dan cyber bullying.
Apa yang Anak-Anak lakukan ketika mengakses internet?
            Menurut Research Environics Group pada Tahun 2001 oleh Kaiser Family Foundation, sebagian besar anak-anak di Amerika Serikat dan Kanada telah mengakses internet. Penggunaan internet sedikit lebih rendah di kota-kota maju misalnya Livingstone dan Bober.
            Selain itu, anak-anak mengakses Internet dari usia yang sangat dini. Dalam survei 2001 Kanada untuk Media Awareness Network (Environics Research Group, 2001), 15% dari remaja di bawah usia 18 tahun teringat belajar untuk menggunakan Internet pada 7 tahun atau lebih muda. Dalam 2003 Amerika Serikat survei dari orang tua menemukan bahwa anak-anak mulai mencari situs Web tanpa pengawasan orangtua di usia 4 tahun dan mengirim e-mail sendiri sedini usia 3 tahun. Jelas, anak-anak tenggelam dalam lingkungan Internet dalam jumlah yang meningkat.
            Anak-anak terutama mengakses internet melalui World Wide Web. Anak-anak menggunakan Web untuk mengakses sumber daya informasi melalui pencarian Web dan browsing disukai situs Web; berkomunikasi menggunakan e-mail, instant messaging, dan diskusi; dan musik akses, video, dan permainan komputer (Environics Research Group, 2001; Rideout et al, 2003;.. Roberts et al, 2005).
            Dalam mengakses internet, terdapar layanan e-mail khusus untuk anak seperti KidMail (http://kidmail.net ) dan Surf Teman (http://www.surfbuddies.com ). Kedua akses tersebut bebas spam, aman, mengeluarkan biaya yang kecil. Akses ini memungkinkan orangtua untuk membatasi kontak e-mail anak-anak dan program yang secara otomatis menyaring konten yang dipertanyakan.
            Direktori pencarian yang dirancang khusus untuk anak-anak adalah Yahooligans (http://yahooligans.com) dan Ask Jeeves (http://www.ajkids.com/) untuk anak-anak. Akses yang dapat dicari atau diakses ini telah diverivikasi sesuai untuk anak-anak oleh tim konsultan pendidikan.
            Banyak juga terdapat sumber hiburan yang dirancang khusus untuk anak-anak yaitu seperti Broadcasting Corporation Umum (http://pbskids.org/), Warner Brothers (misalnya, http://harrypotter.com)  dan Scholastic (misalnya http://scholastic.com). Sumber hiburan tersebut mengembangkan informasi dan permainan untuk anak-anal. Sebagian besar sumber daya ini mandiri dan tidak mengandung link off-site.
            Akses internet anak-anak pun dapat dikontrol melalui program filtering, seperti Net Nanny (http://netnanny.com/) atau Cyber Sitter (http: // www.cybersitter.com/). Adapun browser untuk anak-anak seperti zExplorer (http: // www. zxplorer.com/). Program-program komersial ini membatasi akses anak-anak ke Internet, penyaringan spam, iklan, dan konten yang pantas untuk anak-anak.  Namun terdapat kelemahannya, yaitu anak anak tidak dapat mengakses infromasi dari berbagai infromasi, seperti World Book Encyclopedia. Akhirnya, anak-anak tidak dapat belajar secara aktif, tidak dapat menilai dan mengevaluasi informasi dari internet.
Kekhawatiran
            Seacara hostoris, orangtua, guru, dan pers telah khawatir tentang efek samping dan media baru pada anak-anak. Film, radio, dan televisi berpotensi bahaya bagi perkembangan anak. Komputer dipandang merampas peluang anak untuk berkembang secara sosial dan fisik. Contohnya adalah waktu yang dihabiskan lama saat didepan layar komputer atau televisi. Kritikus khawatir anak aak menjadi korban predator seksual dan cyber bullying.
Perkembangan Sosial
            Kritikus mengatakan bahwa penggunaan komputer mengarah ke isolasi sosial, yang dapat menyebabkan depresi dan gangguan mental lainnya. Kekhawatiran ini ditunjukan dengan korelasi antara isolasi sosial, depresi, dan penggunaan komputer. Kraut et al tahun 1995-1998 melaporkan survei penggunaan internet sebagai bagian dari studi HomeNet mengenai dampak internet pada interaksi sosial. Hasilnya yaitu terjadi penurunan dalam interaksi sosial dan peningkatan pada gejala depresi selama beberapa bukan pertama mereka menggunakan internet. Dalam penelitian kedua, survei menemukan adanya peningkatan yang lebih besar terhadap anak-anak yang ekstrovert dan orang dewasa dalam interaksi sosial, dan harga diri sebagai fungsi dari peningkatan penggunaan internet. Penelitian lain menunjukan bahwa internet dapat memiliki efek positif pada pembangunan sosial. Stern pada tahun 2002, menganalisis situs Web pribadi gadis-gadis remaja, Stern berpendapat bahwa internet memberikan kesempatan yang baik bagi anak-anak untuk mengeskspresikan diri mereka dalam mengembangkan sosial dan seksual.
            Gross et al pada tahun 2002 meneliti hubungan antara kesejahteraan dan kedekatan mitra “instant messaging” pada remaja berusia 11-13 tahun. Kalangan yang menggunakan “instant messaging” merasakan  nyaman dalam interaksi sosial mereka terutama dengan teman-teman sekolah. Sedangkan, remaja yang merasa terisolasi secara sosial juga berkomunikasi dengan orang yang mereka tidak tahu dengan baik.
            Memang, komunikasi online dapat membantu anak-anak mengembangkan rasa diri di lingkungannya. Subrahman dkk tahun 2004, menganalisis 30 menit transkip chat room dari 52 remaja yang berbeda. Topik yang lebih banyak dibahas adalah tentang olahraga, seks, dan kekhawatiran orangtua. Sehingga Subrahmanyam menyimpulkan bahwa internet dapat menyediakan lingkungan aman secara sosial.
            Suzuki dan Calzo pada tahun 2004 meneliti masalah umum remaja dan berdiskusi di chat tentang seksualitas selama satu bulan dan menemukan hasil yang mirip dengan yang diteliti oleh Subrahmanyam. Suzuki Calzo berpendapat bahwa chat room memungkinkan anak-anak untuk jujur membahas dan menerima dukungan sosial untuk masalah-masalah remaja yang memalukan.
            Dari penelitiannya, Greenfi mengungkapkan bahwa pembangunan sosial dan internet dilakukan sampai saat ini adalah walaupun internet dapat membuat anak-anak terisolasi dan depresi. Namun, internet dapat menyediakan lingkungan yang positif bagi perkembangan sosial melalu banyak cara, contohnya adalah e-mail, chatting, dan instant messaging.
Sambungan Diinginkan Untuk Pornografi Dan Benci
            Dalam internet terdapat ratudan situs web yang berbau pornografi. Anak-anak dapat mengakses pornografi dalam berbagai cara, entah itu disengaja atau tidak. Namun, anak-anak lebih mungkin untuk mengakses pornografi secara tidak disengaja. Hal ini terjadi karena pencaian kata kunci yang sangat mudah, dan iklan yang dimunculkan oleh distribusor pornografi untuk mencari pelanggan baru.
            Dari hasil data dari Survei Keamanan Internet Youth menemukan bahwa seperempat dari anak-anak yang diwawancarai menyatakan bahwa mereka tidak sengaja terpapar pornografi, yang dimana 75% melalui situs Web dan 25% melalui e-mail atau instant messaging. Meskipun seperempat dari anak-anak tidak sengaja terpapar pornografi, mereka mengaku sangat kecewa (diwakili 6% dari total sampel).
            Gernstenfeld dkk tahun 2003 melakukan analisis dari situs internet yang diselenggarakan oleh Nasionalis putih, neo-Nazi, skinhead, Ku Klux Klan, identitas kristen, penolakan Holocaust, dan kelompok lainnya. Hanya satu setengah dari situs yang termasuk simbol kebencian, seperti swastika atau pembakaran salib. Meskipun beberapa situs termasuk sumber pengetahuan bagi anak-anak, tapi kurangnya simbol serta klaim non rasisme, non kekerasan atau bahasa mengenai rasisme dan kekerasan dapat menyebabkan kebingungan di kalangan anak-anak.
Predasi dan Bullying
            Survei Keselamatan Pemuda Internet, melaporkan hampir 20% responden yang berusia 10-17 tahun menerima ajakan seksual melalui chatting. Ajakan seksual yang berupa permintaan langsung untuk bertemu, meminta seorang gadis perempuan tentang ukuran bra nya, meminta anak laki-laki untuk terlibat dalam cyber sex, dan mengirim gambar seksual yang eksplisit. Anak-anak yang bermasalah, depresi, atau mempunyai masalah keluarga menerima ajakan seksual lebih tinggi dibandingkan yang tidak bermasalah. Begitu pula terjadi pada anak-anal yang lebih sering munggunakan internet.
            Baru-baru ini, aparat penegak hukum mulai menyamar di internet untuk memerangi kejahatan seksual pada anak-anak. Wolak et al tahun 2003 mengalanisis penangkapan yang dilakukan di Amerika Serikat selama 2000-2001, ditemukan bahwa 508 kasus dimana predator menggunakan internet untuk memikat anak-anak. Mitchell et al tahun 2005 menyimpulkan bahwa internet telah meningkatkan kemampuan lembaga penegak hukum untuk mendeteksi dan mencegah kejahatan pada anak.
            Ybarra tahun 2004 menganalisis karakteristik yang terkait dengan korban pelecehan internet dari Survey Keamanan Internet Youth. Satu sepertiga dari anak-anak yang telah dilecehkan merasakan kecewa. Pada laki-laki mengalami gejala depresi, misalnya penurunan perasaan diri, kesulitan menyelesaikan tugas sekolah, dan kesulitan dalam kebersihan pribadi. Ynarra berpendapat bahwa hubungan antara depresi dan pelecehan membuat pelecehan internet merupakan masalah kesehatan mental yang penting.
            Ybarra dan Mitchell menemukan bahwa 15% responden dari Survey Keamanan Internet Youth mengindikasikan bahwa mereka telah membuat komentar yang kasar dan jahat, 1% menggunakan internet untuk mempermalukan dan melecehkan seseorang dalam satu tahun terakhir. Pelaku pelecehan tersebut cenderung berasal dari keluarga miskin dan terlibat dalam penyalahgunaan zar dan kenakalan.
            Internet menyediakan akses yang lebih besar untuk anak-anak dan lingkungan yang lebih besar dimana anak-anak dapat terlibat dalam bullying dan pelecehan.
Menjadi Pengguna Internet yang Diharapkan
            Ada  pendekatan untuk melindungi anak-anak dari efek internet yang merusak, yaitu :
1.      Pendekatan yang mengatur bahan apa yang dapat didistribusikan di Internet. Undang-Udang Perlindungan Oneline (COPA) disahkan oleh Kongres Amerika Serikat pada tahun 1998, yang melarang penyedia layanan internet komersial mendistribusikan konten yang dilarang untuk anak di bawah umur.
  1. Pendekatan untuk melindungi anak-anak dari bahaya internet dengan mengembangkan perangkat lunak untuk menyaring/ memblokir akses anak-anak terhadap sumber daya ofensif.
            Pendekatan pertama dan kedua saling berhubungan untuk dapat memblokir konten yang tidak boleh diakses oleh anak-anak. Namun, internet terlalu besar sehingga menyaring konten tersebut tidak mudah, apalagi ada beberapa negara yang kebal terhadap undang-undang. Studi perangkat lunak penyaringan menemukan bahwa sebagian besar perangkat lunak yang memblokir pornografi sangat baik, namun hal itu juga akan memblokir tentang pendidikan mengenai seks. Padahal pendidikan tersebut sangat dibutuhkan.
  1. Pendekatan yang mengajarkan anak-anak untuk kritis menilai sendiri.  Pendekatan itu kemungkinan adalah pendekatan yang paling sukses. Keterampilan berpikir kritis mendasari hampir semua pengambilan keputusan untuk membuat keputusan tentang perilaku seksual, pembelian, dan pengumpulan informasi.
            Anak-anak menjadi lebih kritis dengan informasi yang mereka temukan di internet ketika mereka mengandalkan internet sebagai suatu informasi yang penting. Sebagian anak-anak menggunakan internet untuk mengerjakan tugas sekolah mereka. Penilaian kritis juga diperlukan saat mereka membaca artikel dari internet, mereka perlu menilai penulis dari sumber internet yang dia dapat, misalnya tentang jerawat. Jika penulis berpengetahuan, makan informasi tersebut lebih dipercaya daripada penulis yang memiliki pengetahuan yang terbatas. Mereka harus dapat menilai objektifitas, kelengkapan informasi dari artikel tersebut. Sebuah sumber daya dengan tujuan memberikan informasi medis lebih mungkin kredibel daripada yang dirancang untuk menjual atau membujuk. Terkait dengan tujuan tersebut, anak-anak juga perlu menilai keaslian informasi, seperti menentukan apakah sumber daya tersebut relevan dengan kebutuhannya. Anak-anak mungkin kurang mepertimbangkan secara kritis untuk menilai jenis sumber daya internet, seperti game, chatting, instant messaging, musik, dan video. Sebagai contoh, anak-anak cenderung men-download file apapun (musik, film, atau video) tanpa mempertimbangkan virus apa yang ada di file tersebut saat di download. Anak-anak perlu belajar untuk menilai dengan kritis sumber daya dan komunikasi yang mereka hadapi di internet. Pustakawan dan guru sekolah telah mengembangkan sejumlah sumber informasi untuk membantu anak-anak belajar agar dapat lebih kritis untuk menilai sumber infprmasi.  Salah satu sumber daya yang tertua dan paling terkenal menyediakan satu set pertanyaan ya / tidak untuk anak-anak dari berbagai usia. Didalam informasi tersebut, mereka menemukan dan mengevaluasi sumber informasi Web. Anak-anak usia SD awal didorong untuk mempertimbangkan apakah mereka setuju atau tidak setuju dengan informasi tersebut. Sedangkan, remaja didorong untuk kritis menilai isi dan otoritas informasi.
Media Awareness Network telah mengembangkan sejumlah permainan yang tersedia untuk anak-anak, mulai dari Petualangan Three Little Cyber Pigs yang merupakan permainan untuk anak-anak usia 8-10 tahun.
            Pusat Nasional telah mengembangkan sumber pelatihan online yang bernama Netsmartz (http://netsmartz.org) yang mencakup daftar evaluasi, tips untuk orangtua, game, dan kuis. Hasilnya, tiga perempat remaja mengindikasikan bahwa mereka mengubah perilaku mereka di internet sebagai hasil dari apa yang mereka pelajari melalui Netsmartz.
            Perangkat lunak dapat membantu anak-anak untuk belajar mengendalikan perilaku mereka di internet dengan memaksa mereka untuk berpikir kritis dan menilai sumber daya internet sebelum menggunakannya. Terdapat aplikasi checklist sederhana yang dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan penilaian yang kritis. Aplikasi seperti ini membantu anak-anak belajar untuk menerapkan apa yang telah mereka pelajari, sumber-sumber pengajaran, dan kegiatan keamanan internet.

            Internet adalah lingkungan virtual yang tidak terbatas dengan banyak manfaa tuntuk perkembangan kognitif dan sosial anak yang positif. Anak-anak dapat mengunjungi banyak web, mengeskplorasi banyak budaya, mencoba berbagai teknologi, dan berkomunikasi denga banyak orang yang berbeda. Namun, internet juga memiliki sisi buruk, anak-anak dapat terkena pornografi, dilecehkan, diintai, dan diculik. Kita harus dapat memberdayakan anak-anak kita untuk mendapatkan keterampilan berpikir kritis dan menjadi pengguna internet yang bijaksana. Kita dapat membantu mereka memperluas pikiran dan dunia mereka dengan aman melalu internet.

PSIKOLOGI & TEKNOLOGI INTERNET

-          Nama               : Febriani Amisesa Hadi
-          NPM               : 14514116
-         Chapter           : 4 “Intrapersonal”

Disinhibisi dan Internet
            Selama sepuluh tahun terakhir penelitian tentang psikologi dan internet telah menjadi pemahaman umum bahwa orang sering berprilaku berbeda ketika online. Mereka mungkin menjadi genit saat online dan pemalu saat offline. Mereka mungkin meneruskan email orang lain secara online dengan kebijaksanaan. Atau, mereka mungkin mencari informasi secara online (seperti informasi kesehatan atau pornografi) bahwa mereka tidaka akan sembarangan melakukan offline. Perbedaan umum ini telah disebut “rasa malu” (Joinson, 1998) atau “efek rasa malu secara online” (Suler,2004). Dalam definisi rasa malu yang disediakan di edisi pertama ini buku, Joinson (1998), berpendapat bahwa “jika penghambatan adalah ketika prilaku dibatasi atau tertahan melalui kesadaran diri, kecemasan tentang situasi sosial, kekhawatiran tentang evaluasi publik dan sebagainya (Zimbardo, 1997) maka rasa malu dapat ditandai dengan tidak adanya atau pembalikan dari faktor-faktor yang sama. Rasa malu pada internet dipandang sebagai prilaku yang ditandai dengan penurunan jelas pada kekhawatiran untuk presentasi diri dan penilaian orang lain. Satu keuntungan (dan masalah) dari definisi ini adalah yang ketidakjelasan-penggunaan kata “jelas” memungkinkan penjelasan berikutnya untuk mengobati untuk prestasi diri sebagai variabel dependen tanpa efek jelas, atau sebagai independen variabel yang dalam beberapa cara menjelaskan prilaku online. Selain itu, mengurangi prestasi diri jelas dimata yang melihatnya, yang memungkinkan peneliti untuk menerapkan pandangan mereka sendiri tentang apa yang “normal” dengan prilaku orang-orang yang mereka pelajari. Namun rasa malu dikalangan pengguna internet telah terbukti menjadi istilah sulit. Penjelasan seperti biasanya mengandalkan aspek lingkungan online, misalnya, anonimitas atau asynchronicity, untuk menjelaskan efek disinhibinasi.
BUKTI UNTUK RASA MALU
PENGUNGKAPAN DIRI DAN INTERNET
            Sebuah badan bukti eksperimental dan bersifat anekdot menunjukkan bahwa komputer komunikasi dimediasi (CMC) dan umum prilaku berbasis internet bisa dicirikan sebagai keterbukaan diri. Pengungkapan diri telah dipelajari di sejumlah pengguna komputer yang berbeda. Dalam serangkaian penelitian yang dilaporkan oleh Joinson, tingkat pengungkapan diri diukur dengan menggunakan analisis isi transkip dari tatap muka dan diskusi CMC sinkron, dan dalam kondisi anonimitas visual dan link video selama CMC. Sesuai efek prediksi, pengungkapan diri secara signifikan lebih tinggi ketika peserta mengobrol menggunakan sistem CMC sebagai lawan FTF. Dalam studi kedua, menggabungkan link video sementara peserta mengobrol menggunakan program CMC menyebabkan tingkat keterbukaan diri mirip dengan TFT, sedangkan kondisi perbandingan (ada link video) menyebabkan tingkat signifikan lebih tinggi dari pengungkapan diri. Kedua penelitian bersama-sama memberikan dukungan empiris yang secara visual anonim CMC cenderung mengarah ke tingkat yang lebih tinggi dari pengungkapan diri. Hasil studi ini juga menunjukan bahwa tingkat tinggi pengungkapan diri secara efektif dirancang dari interaksi internet. Menurut teori pengurangan ketidakpastian termotifasi untuk mengurangi ketidakpastian dalam interaksi untuk meningkatkan prediktibilitas. Dalam interaksi FTF, ketidakpastian dapat dikurangi melalui kedua komunikasi dan isyarat verbal dan non verbal. Mengingat kebutuhan untuk tingkat respon yang tinggi untuk mrngurangi kesalahan sampling dalam survei , dan kebutuhan untuk pengungkapan jujur untuk menjaga kualitas data, perdagangan ini potensi off antara tingkat respon dan pengungkapan penting.
FLAMING dan PRILAKU ANTI-SOSIAL
            Dalam format aslinya, “menyala” disebut gencarnya berbicara atau obrolan sia-sia. Namun, itu datang untuk umumnya dilihat sebagai prilaku negatif atau anti sosial pada jaringan komputer. Ketika pesan antagonis atau agresif seperti yang diperdagangkan antara orang-orang , itu menjadi “perang”. Penelitian akademik ke gejolak telah terhambat oleh kurangnya kejelasan dalam definisi yang digunakan untuk mengukur dalam penelitian laboratoriun. Misalnya, Kiesler dll. (1985) dioperasionalkan menyala sebagai:
·         Pernyataan sopan
·         Sumpah/flirting
·         Seruan
·         Ekspresi perasaan pribadi terhadap yang lain
·         Penggunaan superlatif
            Operationalizations berbeda dari flaming termasuk hal-hal seperti senonoh, “tipografi energi” (misalnya, tanda seru), nama panggilan, bersumpah, dan negatif umum mempengaruhi. Ketika fokus dari proyek penelitian bergerak dari menyala untuk “tanpa hambatan” komunikasi, definisi melebar untuk menyertakan pesan bahkan non-tugas berdasarkan dan menyampaikan berita buruk. Masalah selanjutnya dengan definisi dan operasionalisasi gejolak itu adalah link apiori untuk komunikasi melalui komputer. Dalam banyak kasus, flaming, menurut definisi, sesuatu yang baik hanya terjadi pada jaringan komputer, unik untuk jaringan komputer, atau lebih jelas pada jaringan komputer dari tatap muka.
BUKTI EMPIRIS UNTUK FLAMING
            Dalam tiga penelitian diuraikan tingkat prilaku verbal tanpa hambatan dibandingkan dalam empat kondisi: komunikasi, konferensi tatap muka anonim komputer (satu-ke-banyak), dan email. Mereka menemukan bahwa gejolak terjadi 94 kali dalam diskusi berbasis teks (4,72% dari komentar), dibandingkan dengan 8 kali (0,21%) dan 16 kali (0,39) dalam kondisi tatap muka dan video conferencing, masing-masing. Jadi, meskipun gejolak jarang, itu secara signifikan lebih mungkin terjadi dalam diskusi berbasis teks daripada tatap muka atau video conferencing. Mereka tidak menenmukan adanya hubungan antara ketegasan individu atau keakraban kelompok dan menyala, meskipun menjadi lebih akrab dengan anggota kelompok lainnya. Coleman meneliti diskusi dari 58 tatap muka dan 59 peserta CMC membahas topik set dalam kelompok 3-7 orang. Diskusi berikutnya yang dinilai pada (antara lain), negaif. Pernyataan positif atau netral diberi skor sebagai 1; laporan yang berisi ketidaksetujuan terbuka atau kritik mencetak 2; senonoh, permusuhan, dan nama-panggilan dicetak sebagai 3 tingkat negatif antara kedua kelompok tidak berbeda untuk kelompok CMC itu 1,24, sedangkan untuk kelompok FTF itu 1,21. Mereka mempelajari komunikasi email dari 96 staf, serta kuesioner mengumpulkan tanggapan. Sesuai dengan prediksi mereka, Sproull dan kiesler menemukan bahwa peserta mereka melaporkan melihat 33 pada email dalam sebulan, dan hanya 4 tatap muka interaksi. Singkatnya, kemudian, meskipun gejolak relatif jarang, ada bukti bahwa itu adalah lebih mungkin terjadi di CMC dari FTF. Namun, bagian dari masalah adalah sifat arsip banyak CMC flame tunggal dapat diteruskan, menyimpan, dan kembali membaca online.

RASA MALU dan DUNIA WORLD WEB WIDE (WWW)
            Sepanjang diskusi ini, fokus perhatian pada komunikasi. Namun, ada juga bukti bahwa prilaku di WWW, sementara tidak diperlukan “menyimpang” dapat dilihat (setidaknya sekali)sebagai disinhibisi. Studi psikologis WWW cenderung fokus pada tiga bidang utama: penggunaan WWW utnuk melakukan penelitian psikologis. Misalnya, interaksi dengan antar muka WWWdan kegunaan; proses psikologis yang terlibat dalam prilaku WWW. Namun, meskipun penting dalam mempopulerkan internet diluar lingkungan akademis dan militer, proses psikologis yang terkait dengan pencarian informasi (atau”browsing”) di WWW telah menerima sedikit perhatian dari para peneliti psikologis. Kelalaian WWW dari badan mengembangkan pengetahuan perilaku sosial di internet adalah bermasalah karena WWW melaju banyak pembangunan di internet dalam hal penggunaan dan aplikasi/inovasi. Sementara jumlah hampir tak terbatas dari informasi yang tersedia di WWW sering disebut-sebut sebagai salah satu alasan utama untuk mengakses internet, sedikit yang diketahui tentang proses psikologis yang mendukung pencarian informasi tersebut.
INTERNET PORNOGRAFI
            Salah satu bidang prilaku WWW yang telah menerima beberapa penelitian perhatian adalah mengakses materi pornografi. Pornografi jauh lebih mudah diakses di internet daripada diatas kertas, peningkatan aksesibilitas tidak hanya circumvents hukum diadakan secara lokal pada kecabulan (efektif mengurangi apa yang diterima untuk common denomintor terendah karena disitulah situs Web akan diselenggarakan), tetapi juga menghilangkan banyak hambatan psikologis yang terkait dengan membeli pornografi ditoko lokal seseorang. Hal ini umumnya menuduh bahwa pornografi telah berada digaris depan perkembangan teknologi di WWW. Yang pasti, pornografi telah cepat untuk menggunakan teknologi baru penemu fotografi, telepon dan telegraf, bioskop dan 8mm film, dan video VHS dengan cepat diikuti oleh pengguna teknologi untuk pornografi. Kembali tahun 1980-an, itu sama berpendapat bahwa pornogrfai dan horor film adalah “pembunuh app” video dan video “privilege” yang terlibat dalam hasil-hasil sosial negatif dalam cara yang sama internet saat ini. Namun, isi dan kuantitas pornografi di Internet telah berada di bawah-diteliti oleh psikolog cyber. Pada bagian, ini adalah karena kontroversi yang diikuti publikasi dan berikutnya publisitas dari studi oleh Rimm pada tahun 1995. Rimm, seorang peneliti di Carnegie Mellon University, yang disurvei gambar seksual yang tersedia di Usenet dan membayar-untuk-view layanan berlangganan. Laporan itu dijemput oleh majalah Time, yang berlari cerita sampul tentang "pornografi di!" Berdasarkan sebagian pada studi oleh Rimm, cerita majalah Time menyatakan bahwa 83,5% dari gambar pada Usenet pornografi di alam, dan bahwa perdagangan dalam pornografi adalah salah satu yang paling populer, jika bukan yang paling populer, aktivitas di Internet.Dari 900.000 kejadian materi seksual yang eksplisit dikumpulkan, kurang dari 1% berasal dari Usenet-sisa dari server langganan (yang umumnya memerlukan rincian kartu kredit).Tapi, gagasan bahwa Internet adalah dibanjiri dengan pornografi masih tetap.

FORMAT DARI PORNOGRAFI DI INTERNET
            Studi Rimm dari gambar-gambar porno berusaha untuk menganalisis mereka untuk konten dengan secara otomatis mengumpulkan deskripsi dari gambar. Sebagai deskripsi gambar mungkin akan lebih terkait dengan iklan dari tentu konten yang sebenarnya, ada kemungkinan bahwa metode infl ini diciptakan tingkat kecabulan.. Sebagian besar gambar yang diposting yang oleh anonim pengguna Usenet nonkomersial (65%). Tema utama yang muncul dari analisis yang closeups alat kelamin manusia (43%), tegak penis (35%), fetishes (33%), dan masturbasi (21%). umlah bahan paling mungkin dianggap ilegal di sebagian besar negara juga tinggi: 15% dari gambar baik yang terkandung anak-anak atau remaja atau pemuda signified dalam gambar atau teks. Parafilia lain dicatat, termasuk perbudakan dan disiplin (10%), penyisipan benda asing (17%), bestiality (10%), incest (1%), dan buang air kecil (3%).Mehta dan Plaza juga mencatat bahwa isi dari pornografi internet tampaknya berbeda dari yang majalah dan video. Misalnya, fellatio, homoseksualitas, dan kelompok seks yang lebih sering ditemukan di situs internet (15, 18, dan 11%, masing-masing) dibandingkan dalam studi yang sebanding media tradisional (8.1, 2-4, dan 1-3%, hormat).Keingintahuan, kemudian, daripada variabel lain tampaknya akan mendorong banyak kunjungan awal ke situs pornografi internet. Namun, persepsi anonimitas Web browsing mungkin membuat mengakses gambar-gambar porno sosial dan psikologis lebih aman online daripada offline. Tentu saja, itu juga jauh lebih nyaman, serta menyediakan, setidaknya untuk pengguna rumah, privasi dari konsumsi (distributor sesuatu pornografi bertujuan untuk banyak waktu).Persepsi anonimitas adalah sesuatu yang harus dirancang ke dalam sistem, bukan sesuatu yang Internet menyediakan sebagai hak kelahiran. Situs yang merancang dalam kurangnya jelas anonimitas (misalnya, prosedur pendaftaran wajib) secara efektif memasuki bernegosiasi dengan pengguna potensial yang mungkin membatasi potensi manfaat anonimitas pada perilaku Internet.

PENJELASAN dari RASA MALU di INTERNET

DEINDIVIDUATION
            Konsep deindividuation dapat ditelusuri ke peneliti Perancis Gustave Le Bon pada tahun 1895. Le Bon berpendapat bahwa menjadi anggota dari kerumunan menyebabkan penggenangan, sebuah negara di mana kendala normal pada perilaku individu dihapus. Dalam psikologi sosial modern eksperimental, yang deindividuation Istilah ini diciptakan oleh Festinger dkk. (1952) untuk menjelaskan mengapa laki-laki yang mengingat informasi kurang individuating menampilkan lebih banyak permusuhan terhadap orang tua mereka. Menurut Festinger et al., Ketika seseorang tidak diindividuasikan dalam kelompok, "ada kemungkinan akan terjadi untuk member pengurangan kendala dalam" (hal. 382). Pendekatan ini diperpanjang oleh penelitian Zimbardo (1969). Menurut Zimbardo, anonimitas, gairah, kelebihan indrawi, pikiran-mengubah obat, dan pengurangan diri fokus mengarah deindividuation dan dari situ ke disinhibited, perilaku bermusuhan. Menurut beberapa peneliti CMC, orang berkomunikasi melalui komputer mungkin deindividuated. Misalnya, Kiesler et al. (1984) berpendapat bahwa ketika pengguna CMC adalah anonim, dan mungkin ia difokuskan pada tugas di tangan, bukan penerima standar internal mereka, maka ia adalah deindividuated. Namun, pandangan ini dari pengguna CMC rata-rata deindividuated telah mengkritik keras (. Lea et al, 1992; Postmes & Spears, 1998; Reicher et al, 1995.). Lea dkk. (1992) berpendapat bahwa CMC tidak antinormative (seperti yang disarankan oleh penjelasan deindividuation), melainkan kadang-kadang di bawah kendali norma yang berasal dari identitas sosial yang aktif.

ISYARAT SOSIAL MENGURANGI
            Penjelasan terkait perilaku online disinhibited berasal dari bandwidth yang terbatas jaringan CMC, dan pengurangan berikutnya dituduhkan dalam isyarat-isyarat sosial selama interaksi. Ini, menurut mengurangi pendekatan isyarat-isyarat sosial, mengarah ke penurunan pengaruh infl dari norma-norma sosial dan kendala (Kiesler et al, 1984;.) Dan dengan demikian menyebabkan antinormative dan perilaku diregulasi. Menurut berkurang isyarat sosial (RSC) model, isyarat-isyarat sosial dan kontekstual yang lebih rendah menyebabkan (a) pergeseran atensi terhadap tugas daripada penerima, (b) pengurangan hirarki yang normal dengan menghapus petunjuk status, isyarat kepemimpinan, dan seterusnya, dan (c) deindividuation, disebabkan oleh kombinasi dari anonimitas, kurangnya diri dan lainnya-focus, dan self-regulation menurunkan (lihat Spears & Lea, 1992, untuk Ringkasan dari pendekatan ini). Namun, pendekatan RSC telah mengecam keras untuk mengambil "Socialness" dari CMC (lihat Spears & Lea, 1992). Menurut model RSC, pengaruh infl sosial di CMC akan terutama didasarkan pada keseimbangan informasi yang dipertukarkan (Kiesler et al., 1984). Namun, Spears dan Lea (1992) meringkas penelitian polarisasi kelompok yang menunjukkan bahwa CMC, dalam keadaan tertentu, mematuhi normatif infl pengaruh daripada pinjaman itu sendiri untuk perilaku antinormative. Namun, pengembangan hubungan online, di samping pengembangan isyarat interpersonal yang sosial (misalnya, smilies, tanda-tanda tindakan) dan isyarat kategori yang terkandung dalam header e-mail dan tanda tangan (misalnya, jenis kelamin, lokasi, pekerjaan), menunjukkan bahwa CMC tidak kekurangan "socialness" (Spears & Lea, 1992).

DUA-KOMPONEN DIRI-KESADARAN MODEL
            Ini juga telah berpendapat bahwa rasa malu sering terlihat dalam studi CMC mungkin karena lebih tinggi daripada rendah diri fokus (Joinson, 2001; Matheson & Zanna, 1988). Menurut Duval dan Wicklund (1972), perhatian sadar dapat diarahkan pada lingkungan (disebut "publik" kesadaran diri) atau ke arah diri (disebut "swasta" kesadaran diri). Kesadaran diri publik disebabkan oleh situasi di mana seorang individu menyadari kemungkinan sedang dievaluasi (misalnya, ketika sedang direkam atau dinilai) atau ketika mereka khas sosial (misalnya, ketika mereka adalah minoritas di kelompok). Kesadaran diri pribadi adalah ketika orang menyadari motif batin mereka, sikap, tujuan, dan sebagainya, dan dapat diinduksi, misalnya, dengan memiliki orang-orang melihat ke dalam cermin. Menurut Matheson dan Zanna, kesadaran diri pribadi dan umum dianggap "relatif ortogonal" (hal. 222), yaitu, seseorang dapat menyadari "baik, satu atau tidak aspek diri" (hal. 222) . Matheson dan Zanna berpendapat bahwa bukti dari CMC menunjukkan bahwa orang mungkin telah meningkatkan kesadaran diri pribadi, dan mengurangi kesadaran diri publik, selama CMC. Selanjutnya, orang cenderung untuk merespon dengan cara yang kurang diinginkan secara sosial ketika berkomunikasi melalui komputer dibandingkan dengan tes pena-dan-kertas (Kiesler & Sproull, 1986), terlepas dari tingkat anonimitas (Joinson, 1999). Kesadaran diri pribadi meningkat dengan menggunakan video feed dari peserta ke mereka sendiri layar sebagai setara dengan cermin. Itu berkurang dengan mengganti umpan video ini dengan kartun. Kesadaran diri publik berkurang dengan menekankan anonimitas dan ditingkatkan dengan meningkatkan isyarat akuntabilitas. Sassenberg dkk. (2005) meneliti peran kesadaran diri pribadi dalam perubahan sikap selama CMC. Mereka menemukan bahwa dampak media (CMC dibandingkan FTF) tentang perubahan sikap itu dimediasi oleh swasta kesadaran diri-yang, mengurangi perubahan sikap selama CMC dibandingkan dengan FTF itu tergantung pada peningkatan kesadaran diri pribadi selama CMC. Dalam penelitian kedua, mereka juga menemukan bukti bahwa swasta kesadaran diri sifat dimoderasi dampak media terhadap perubahan sikap.

SOSIAL IDENTITAS PENJELASAN DEINDIVIDUATION

EFEK (SIDE)
            Penjelasan lebih lanjut dari perilaku CMC berasal dari model SIDE (Reicher et al., 1995). Menurut model ini, kebanyakan deindividuation efek, dari yang dilaporkan oleh Zimbardo (1969) dan seterusnya, dapat dijelaskan tanpa bantuan deindividuation. Anonimitas, karena kurangnya fokus pada diri sebagai individu, cenderung mengarah pada aktivasi identitas sosial daripada aktivasi identitas pribadi (Reicher et al., 1995). Hal ini menyebabkan pengaturan perilaku berdasarkan norma-norma yang terkait dengan kelompok sosial yang menonjol. Misalnya, Reicher et al. (1995) melaporkan sebuah studi pada polarisasi kelompok di mana arti-penting dari keanggotaan kelompok (dalam hal ini, sebagai mahasiswa psikologi) dan anonimitas peserta dimanipulasi. Polarisasi kelompok adalah kecenderungan untuk sikap kelompok untuk menjadi lebih ekstrim (ke arah sikap rata-rata) mengikuti diskusi kelompok. Model SIDE memiliki culty sedikit lebih diffi menjelaskan rasa malu umum, daripada kelompok polarisasi, selama CMC. Salah satu penjelasan adalah untuk diskon adanya perilaku verbal tanpa hambatan, dan berpendapat bahwa itu mungkin baik context dependent dan normatif dalam CMC (misalnya, Lea et al., 1992). Namun, ini memerlukan identitas sosial menjadi penting, dan bahwa norma-norma yang terkait dengan identitas sosial terhadap rasa malu.

PENJELASAN MULTI-FAKTOR dan RASA MALU
Suler (2004) mengidentifikasi enam faktor utama yang menyebabkan "rasa malu secara online efek, "beberapa sebelumnya mapan, yang lain berdasarkan teori psikoanalitik. Ini adalah anonimitas disosiatif, tembus pandang, asynchronicity, introyeksi solipsistik, imajinasi disosiatif, dan minimalisasi otoritas. Suler berpendapat bahwa anonimitas online memungkinkan orang untuk kotakkan diri online mereka dan merasionalisasi bahwa perilaku online mereka 'tidak benar-benar sama sekali "(hal. 322). Gaib, menurut Suler, adalah anonimitas visual (seperti yang digunakan oleh peneliti SIDE) -yaitu, meskipun banyak interactants secara online mengenal satu sama lain, anonimitas visual yang mengarah pada situasi mirip dengan psikoterapis tradisional duduk di belakang klien untuk mendorong pengungkapan. Asynchronicity memungkinkan orang untuk terlibat dalam "hit emosional dan menjalankan"; mereka tidak perlu menghadapi reaksi langsung terhadap perilaku mereka. Sementara itu, introjeksi solipsistik ini disebabkan kurangnya pengguna isyarat-Internet visual atau verbal yang membaca pesan e-mail dalam suara mereka sendiri di kepala mereka, yang menyebabkan proses penggabungan dan mungkin transferensi. Suler mengklaim bahwa internet menyebabkan minimalisasi otoritas, lagi mendorong perilaku disinhibited.

PENDEKATAN PRIVASI BERBASIS UNTUK MEMAHAMI

Rasa malu
Joinson dan Paine (di media) berpendapat bahwa peningkatan pengawasan Kegiatan internet membuat penjelasan hanya berdasarkan anonimitas unviable. Misalnya, Internet, dan media baru pada umumnya, cenderung mengikis privasi melalui, antara metode lain, data mining, cookies, dan data jejak kaki. Joinson dan Paine berpendapat bahwa ini memungkinkan pengguna untuk membeli nama samaran, misalnya, melalui penggunaan julukan pada server obrolan. Sebuah proses kedua yang Joinson dan Paine mengidentifikasi berkaitan dengan biaya dan benefi ts dari suatu kegiatan. Banyak "disinhibited" kegiatan yang dilakukan secara online (misalnya, cybersex, pengungkapan diri, mengakses pornografi) membawa biaya dalam kehidupan nyata. Pengungkapan diri dapat membuat discloser rentan terhadap orang lain, saat mengakses pornografi dapat menjadi penyebab malu atau malu. Internet juga dapat mengatasi keseimbangan biaya dan benefi ts dengan mengurangi kemungkinan biaya dari perilaku-mengungkapkan rahasia lebih mudah jika penerima tidak tahu siapa Anda. Akhirnya, Joinson dan Paine berpendapat bahwa kontrol juga merupakan masalah penting. Walther (1996) berpendapat bahwa interaksi sosial hyperpersonal secara online terjadi, setidaknya sebagian, karena peningkatan kontrol yang diberikan oleh asynchronous, visual anonim CMC. Misalnya, kita dapat mengontrol informasi apa yang kita pilih untuk mengungkapkan, dengan cara apa, dan bagaimana kita mengungkapkannya.

KESIMPULAN

Disinhibisi adalah salah satu dari beberapa dilaporkan secara luas dan mencatat Media efek dari interaksi online. Namun, meskipun bukti bahwa rasa malu terjadi di sejumlah konteks yang berbeda secara online, termasuk CMC, Web-log dan penyerahan formulir Web, yang paling pendekatan untuk memahami fenomena membatasi diri untuk mempertimbangkan dampak dari faktor-anonimitas tunggal. Saya berpendapat bahwa dengan berfokus hanya pada efek tingkat mikro media ini, konteks yang lebih luas di mana perilaku tersebut dilakukan diabaikan-dan yang mengabaikan ini batas konteks bagaimana kita dapat konsep perilaku online. Dengan mempertimbangkan konteks yang lebih luas, dan khususnya, implikasinya untuk privasi, adalah mungkin untuk mengembangkan gambaran yang lebih bernuansa perilaku online disinhibited menemukan situasi.

PSIKOLOGI & TEKNOLOGI INTERNET

-           Nama              : Sheila Rahmi Syafitri
-           NPM               : 1A514209
-           Chapter           : 6 “Kecanduan Internet”

Kecanduan Internet: Apakah Ini Benar-Benar Ada? (Tinjauan Kembali)
Telah dinyatakan oleh beberapa akademisi bahwa penggunaan internet yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan patologis dan adiktif dan ini lebih dikenal dengan sebutan “kecanduan teknologi”. Kecanduan teknologi secara operasional didefinisikan sebagai nonchemical (perilaku) kecanduan yang melibatkan interaksi manusia-mesin. Mereka juga dapat menjadi pasif (misalnya televisi) atau aktif (misalnya, permainan komputer), dan biasanya mengandung fitur yang dapat mendorong dan memperkuat kontribusi untuk promosi dalam kecenderungan kecanduan.Kecanduan teknologi dapat dilihat sebagai bagian dari kecanduan perilaku dan komponen fitur inti kecanduan, seperti, ciri khas, modifikasi suasana hati, toleransi, penarikan, konflik, dan jatuh sakit lagi.
Young mengklaim kecanduan internet merupakan istilah luas yang mencakup berbagai kontrol masalah perilaku dan impuls. Dia telah mengkategorikan perilaku ini menjadi lima subtipe tertentu.
Kecanduan seksual dunia maya: penggunaan kompulsif dari situs dewasa untuk cybersex dan pornografi.
Kecanduan hubungan dunia maya: Overinvolvement dalam hubungan secara online
Dorongan keuntungan: Obsesif dalam perjudian online, belanja, atau perdagangan harian
Informasi yang berlebihan: Kompulsif berselancar jaringan atau pencarian database
Kecanduan komputer: Obsesif bermain komputer-permainan (Doom, Myst, Solitaire, dll)

            Namun, Griffiths berpendapat bahwa banyak dari pengguna yang berlebihan tidak “pecandu internet” tetapi hanya menggunakan internet berlebihan sebagai media untuk bahan bakar kecanduan lainnya. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk membedakan antara kecanduan internet dan kecanduan di internet. Ini akan ditinjau kembali dalam bab ini.
PERBANDINGAN STUDI PENELITIAN TENTANG KECANDUAN INTERNET DAN PENGGUNAAN INTERNET YANG BERLEBIHAN
Studi penelitian awal empiris yang akan dilakukan pada penggunaan internet yang berlebihan adalah Young (1996a). Studi ini membahas pertanyaan apakah internet dapat menyebabkan kecanduan atau tidak, dan sejauh mana masalah yang terkait dengan penyalahgunaannya. Kriteria DSM-IV untuk mengambil resiko patologis yang dimodifikasi untuk mengembangkan 8 item kuesioner, karena mengambil resiko patologis dipandang untuk menjadi yang paling dekat dengan alam dalam penggunaan internet patologis. Peserta yang menjawab “ya” untuk 5 atau lebih dari 8 kriteria yang diklasifikasikan sebagai kecanduan internet (yaitu, “ketergantungan”). Sampel dipilih sendiri dari 496 orang yang menanggapi kuesioner dengan sebagian besar (n = 396) yang digolongkan sebagai “ketergantungan”. Mayoritas responden adalah perempuan juga (60%).
            Ditemukan bahwa ketergantungan menghabiskan lebih banyak waktu online (38,5 jam seminggu) dibandingkan dengan yang “tidak ketergantungan” (4,9 jam seminggu), dan sebagian besar digunakan fungsi yang lebih interaktif dari internet, seperti ruang obrolan atau forum. Ketergantungan juga dikabarkan bahwa penggunaan internet mereka disebabkan masalah sedang sampai berat dalam keluarga mereka, sosial, dan kehidupan profesional. Young menyimpulkan bahwa (i) semakin interaktif fungsi internet, semakin menimbulkan adiktif, dan (ii) sedangkan pengguna biasa melaporkan beberapa efek negatif dari penggunaan internet, ketergantungan dikabarkan menyebabkan penurunan yang signifikan dalam berbagai bidang kehidupan mereka, termasuk kesehatan, pekerjaan, sosial, dan keuangan.
Brenner (1997) merancang alat yang disebut Internet-Related Addictive Behavior Inventory (IRABI), yang terdiri dari 32 dikotomis item (benar / salah). Item ini dirancang untuk menilai pengalaman sebanding dengan yang berkaitan dengan Penyalahgunaan Zat dalam DSM-IV. Dari 563 responden, mayoritas adalah laki-laki (73%) dan mereka menggunakan internet untuk (rata-rata) 19 jam seminggu. Semua 32 item itu tampaknya menilai beberapa varian unik karena mereka semua ditemukan cukup berhubungan dengan skor total. Pengguna yang lebih tua cenderung mengalami sedikit masalah dibandingkan dengan pengguna yang lebih muda, meskipun menghabiskan jumlah waktu yang sama untuk online. Tidak ada perbedaan gender yang dihasilkan.
Dalam sebuah penelitian yang jauh lebih besar – Virtual Addiction Survey (VAS) – Greenfield (1999) melakukan survey online dengan 17.251 responden. Sampel utama Kaukasia (82%), laki-laki (71%), dengan usia rata-rata 33 tahun. VAS termasuk item demografis (misalnya, usia, lokasi, latar belakang pendidikan), item informasi deskriptif (misalnya, frekuensi dan durasi penggunaan, penggunaan spesifik internet), dan item klinis (misalnya, rasa malu, hilangnya waktu, perilaku  online). Ini juga termasuk sepuluh item yang dimodifikasi dari kriteria DSM-IV untuk judi patologis. Sekitar 6% responden memenuhi kriteria sebagai contoh kecanduan penggunaan internet. Analisis eksperimen post-hoc mengusulkan beberapa variable yang membuat internet menarik:
·   Keakraban yang kuat (41% jumlah sampel, 75% tergantung)
·   Rasa malu (43% jumlah sampel, 80% tergantung)
·   Hilangnya perbatasan (39% jumlah sampel, 83% tergantung)
·   Keabadian (sebagian sampel menjawab “kadang-kadang”, sebagian besar yang tergantung menjawab “hampir selalu”)
·   Di luar kendali (8% jumlah sampel, 46% tergantung)
STUDI PENELITIAN KECANDUAN INTERNET DI KELOMPOK YANG RENTAN  (YAITU, SISWA)
Sejumlah penelitian lain telah menyoroti bahaya bahwa penggunaan internet yang berlebihan dapat menimbulkan dampak bagi siswa seperti kelompok populasi. Misalnya, Scherer (1997) mempelajari 531 mahasiswa University of Texas di Austin. Dari jumlah tersebut, 381 siswa menggunakan internet setidaknya seminggu sekali dan diteliti lebih lanjut. Berdasarkan kriteria paralel dependensi kimia, 49 siswa (13%) yang diklasifikasikan sebagai “ketergantungan internet: (71% laki-laki, 29% perempuan). Pengguna yang “ketergantungan” rata-rata 11 jam seminggu secara online yang bertentangan dengan rata-rata 8 jam untuk yang “tidak ketergantungan”. Ketergantungan tiga kali lebih mungkin untuk menggunakan aplikasi sinkron interaktif. Kelemahan utama dari penelitian ini yang timbul bahwa ketergantungan rata-rata hanya 11 jam seminggu secara online (yaitu, lebih dari satu jam sehari). Ini hampir tidak bisa disebut berlebihan atau adiktif (Griffiths, 1998).
Anderson (1999) mengumpulkan data dari berbagai perguruan tinggi di AS dan Eropa, menghasilkan 1.302 responden (dengan membagi hampir 50-50 gender). Rata-rata pesertanya menggunakan internet 100 menit sehari, dan sekitar 6% dari peserta dianggap sebagai pengguna tinggi (diatas 400 menit sehari). Substansi DSM-IV kriteria ketergantungan yang digunakan untuk mengklasifikasikan peserta menjadi ketergantungan dan tidak ketergantungan. Dari 106 yang ketergantungan, 93 diantaranya adalah laki-laki. Rata-rata mereka menghabiskan waktu 229 menit per hari dibandingkan dengan yang tidak ketergantungan menghabiskan waktu rata-rata 73 menit per hari. Peserta dalam kategori pengguna tinggi dikabarkan memiliki konsekuensi yang lebih negatif dibandingkan dengan peserta pengguna rendah.
Kubey dkk (2001) telah meneliti 576 siswa di Rutgers University. Penelitian mereka termasuk 43 item pilihan ganda pada penggunaan internet, kebiasaan belajar, prestasi akademik, dan kepribadian. Ketergantungan internet diukur dengan 5 poin item skala Likert, meminta peserta seberapa banyak mereka setuju atau tidak setuju dengan pernyataan berikut: “Saya pikir mungkin saya telah menjadi sedikit ketergantungan psikologis pada internet”. Peserta dikategorikan sebagai “ketergantungan internet” jika mereka memilih “setuju” atau “sangat setuju” dari pernyataan itu. Dari 572 tanggapan yang valid, sebanyak 381 tanggapan (66%) adalah perempuan dan usianya berkisar antara 18 dan 45 tahun dengan usia rata-rata 20,25 tahun. Lima puluh tiga peserta (9,3%) yang diklasifikasikan sebagai ketergantungan internet, dan laki-laki yang lebih umum dalam kelompok ini. Umur tidak ditemukan sebagai faktornya, tetapi siswa tahun pertama (usia tidak diketahui) ditemukan membuat 37,7% dari kelompok ketergantungan. Dilaporkan siswa yang ketergantungan 4 kali lebih mungkin mengalami penurunan akademik karena penggunaan internet mereka dibandingkan dengan yang tidak ketergantungan, dan mereka secara signifikan “lebih kesepian” daripada siswa lainnya.
STUDI PSIKOMETRIK KECANDUAN INTERNET
Seperti yang dapat dilihat dari studi awal, sejumlah kriteria diagnostik yang berbeda telah digunakan dalam studi kecanduan internet. Salah satu kriteria paling umum digunakan adalah yang digunakan oleh Young (1996a) dan kemudian oleh orang lain. Kuesioner diagnostik terdiri dari 8 item yang dimodifikasi dari kriteria DSM-IV untuk judi patologis (lihat tabel I). Dia mempertahankan skor cutoff dari lima, menurut sejumlah kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis judi patologis, meskipun yang terakhir memiliki dua kriteria tambahan. Bahkan dengan skor cutoff lebih ketar, ditemukan bahwa hampir 80% dari responden dalam penelitiannya diklasifikasikan sebagai ketergantungan.

TABEL I
Apakah Anda merasa asyik dengan internet (berpikir tentang aktivitas online sebelumnya atau mengantisipasi sesi secara online berikutnya)?
Apakah Anda merasa perlu untuk menggunakan internet dengan meningkatnya jumlah waktu untuk mencapai kepuasan?
Apakah Anda berulang kali melakukan upaya gagal untuk mengontrol, mengurangi, atau, menghentikan penggunaan internet?
Apakah Anda merasa gelisah, murung, tertekan, atau pemarah ketika mencoba untuk mengurangi atau menghentikan penggunaan internet?
Apakah Anda tetap online lebih lama daripada awal ditujukan?
Apakah Anda membahayakan atau mempertaruhkan hilangnya hubungan yang signifikan, pekerjaan, pendidikan, atau kesempatan karir karena internet?
Apakah Anda berbohong kepada anggota keluarga, terapis, atau orang lain untuk menyembunyikan luasnya keterlibatan dengan internet?
Apakah Anda menggunakan internet sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah atau menghilangkan mood dysphoric (misalnya, perasaan tidak berdaya, rasa bersalah, kecemasan, depresi)?
Young (1996) Kriteria Diagnostik untuk Kecanduan Internet
            Beard dan Wolf (2001) berusaha untuk memodifikasi kriteria Young, berdasarkan keprihatinan dengan objektivitas dan ketergantungan pada laporan diri. Beberapa kriteria dapat dengan mudah dilaporkan dan ditolak oleh peserta, dan penilaian mereka mungkin terganggu, sehingga mempengaruhi akurasi diagnosis. Kedua, beberapa item yang dianggap terlalu samar dan beberapa terminology perlu diklarifikasi (misalnya,  apa yang dimaksud dengan “keasyikan”?). Ketiga, mereka mempertanyakan apakah atau tidak kriteria untuk judi patologis yang paling akurat digunakan sebagai dasar untuk mengidentifikasi kecanduan internet. Karena itu, Beard dan Wolf mengusulkan kriteria modifikasi (lihat tabel II).
TABEL II
Kriteria untuk Mengidentifikasi Kecanduan InternetSemua berikut ini (1-5) harus hadir:
1.      Apakah kesibukan dengan internet (berpikir tentang aktivitas online sebelumnya atau mengantisipasi sesi secara online berikutnya)
2.      Kebutuhan untuk menggunakan internet dengan peningkatan jumlah waktu untuk mencapai kepuasan
3.      Telah membuat upaya gagal untuk mengontrol, mengurangi, atau menghentikan penggunaan internet
4.      Apakah gelisah, murung, tertekan, atau pemarah ketika mencoba untuk mengurangi atau menghentikan penggunaan internet
5.      Apakah tinggal secara online lebih lama daripada awal ditujukan

Dan setidaknya salah satu dari berikut:
1.      Apakah membahayakan atau mempertaruhkan hilangnya hubungan yang signifikan, pekerjaan, pendidikan, atau kesempatan karir karena internet
2.      Telah berbohong kepada anggota keluarga, terapis, atau orang lain untuk menyembunyikan luasnya keterlibatan dengan internet
3.      Menggunakan internet sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah atau menghilangkan mood dysphoric (misalnya, perasaan tidak berdaya, rasa bersalah, kecemasan, depresi)
 (Beard & Wolfe, 2001)
Upaya lain untuk merumuskan seperangkat kriteria diagnostik untuk kecanduan internet itu dibuat oleh Pratarelli dkk, (1999). Analisis faktor digunakan dalam penelitian ini untuk menguji kemungkinan konstruksi yang mendasari kecanduan komputer / internet. Ada 341 penelitian selesai dengan 163 peserta laki-laki dan 178 peserta perempuan (rata-rata usia 22,8 tahun) direkrut dari Oklahoma State University. Sebuah kuesioner yang terdiri dari 93 item dibentuk, 19 diantaranya adalah kategori pertanyaan penggunaan demografi dan internet, dan 74 item dikotomis. Empat faktor yang diambil dari 93 item, dua faktor utama dan dua faktor minor.
·  Faktor 1 difokuskan pada bermasalahnya perilaku yang berkaitan dengan komputer pada pengguna internet berat. Faktor ini ditandai dengan laporan dari kesepian, isolasi sosial, janji yang hilang, dan konsekuensi negatif umum lainnya dari penggunaan internet mereka.
· Faktor 2 difokuskan pada penggunaan dan kegunaan teknologi komputer pada umumnya dan khususnya internet.
· Faktor 3 difokuskan pada dua konstruksi berbeda yang berdangkutan dengan penggunaan internet untuk kepuasan seksual dan rasa malu / introversi.
·  Faktor 4 difokuskan pada kurangnya masalah yang berkaitan dengan penggunaan internet ditambah dengan sedikit keseganan / tidak tertarik pada teknologi.
Ketergantungan internet paling sering di konseptualisasikan sebagai kecanduan perilaku, yang beroperasi pada prinsip modifikasi dari model kecanduan klasik, tetapi kegunaan validitas dan klinis yang diklaim juga telah dipertanyakan (Holden, 2001). Penelitian lain juga telah mendukung konsep bahwa penggunaan internet yang bermasalah mungkin terkait dengan cerita gangguan kontrol impuls DSM-IV (Shapira dkk, 2000; Treuer dkk, 2001).
Berdasarkan bukti empiris saat ini (belum terbatas), Shapira dkk (2003) mengusulkan bahwa penggunaan internet bermasalah di konseptualisasikan sebagai gangguan kontrol impuls. Mereka mengakui bahwa meskipun kategori sudah merupakan salah satu yang heterogen, dari waktu ke waktu, sindrom tertentu telah diindikasikan sebagai klinis yang berguna. Oleh karena itu, dalam model kriteria TR gangguan kontrol impuls DSM IV, serta di samping gangguan kontrol impuls yang diusulkan dari dorongan membeli, Shapira dkk mengusulkan kriteria diagnostik yang luas untuk peggunaan internet yang bermasalah (lihat tabel III).
TABEL III
Keasyikan maladaptif dengan penggunaan internet, seperti yang ditunjukkan oleh setidaknya salah satu dari berikut ini:
Keasyikan dengan penggunaan internet yang dialami sebagai tak tertahankan
Penggunaan internet yang berlebihan untuk periode waktu yang lebih lama dari yang direncanakan
Penggunaan internet atau keasyikan dengan internet menyebabkan kesulitan klinis yang signifikan atau penurunan bidang sosial, pekerjaan, atau area yang penting dari fungsi.
Penggunaan internet yang berlebihan tidak terjadi secara eksklusif selama periode hypomania atau mania dan tidak lebih baik tercatat sebagai gangguan lain Axis I.
Kriteria Diagnostik untuk Penggunaan Internet yang Bermasalah (Shapira dkk, 2003)
            Tiga skema klinis singkat kemudian menjelaskan bagaimana penggunaan kriteria yang diusulkan dan kompleksitas ini yang membedakan “gangguan”. Semua peserta adalah mahasiswa yang tergolong pengguna berat (45 jam per bulan setidaknya dua bulan, dengan rata-rata siswa menggunakan internet selama 15 jam sebulan sebagaimana yang dilacak oleh Florida’s North East Regional Data Centre). Dari tiga skema yang telah dijelaskan, dua didiagnosis sebagai masalah pengguna berdasarkan kriteria yang diusulkan.
Analisis faktor mengungkapkan 4 faktor utama. Yang pertama diberi label “penyerapan” (yaitu, keterlibatan yang berlebih pada internet, kegagalan manajemen waktu), kedua “konsekuensi negatif” (yaitu, kesulitan atau masalah periaku seperti lebih memilih untuk online daripada menghabiskan waktu dengan keluarga), yang ketiga “tidur” (yaitu, gangguan pola tidur seperti penjadwalan tidur sekitar waktu online), dan yang terakhir “penipuan” (yaitu, berbohong kepada orang lain tentang identitas, atau jumlah waktu yang dihabiskan untuk online). Penurunan terkain internet dikonseptualisasikan berdasarkan penyerapan pengguna dan konsekuensi negatif bukannya frekuensi penggunaan. Para penulis menyimpulkan dengan menyatakan bahwa untuk mengasumsikan penggunaan internet yang berlebihan, patologis, atau adiktif berpotensi menyesatkan karena mengabaikan faktor-faktor kontekstual dan disposisional yang dikaitkan dengan perilaku ini.
KECANDUAN INTERNET, KOMORBIDITAS, DAN HUBUNGAN DENGAN PRILAKU LAIN
Young dan Rodgers (1998) meneliti ciri-ciri kepribadian individu yang dianggap tergantung pada internet menggunakan Sixteen Personality Factor Inventory (16 PF). Pengguna yang ketergantungan ditemukan termasuk dalam kategori peringkat tinggi dalam hal kemandirian (yaitu, mereka tidak merasakan rasa keterasingan orang lain ketika duduk sendirian, mungkin karena fungsi interaktif dari internet), sensitivitas emosional dan reaktivitas (yaitu, mereka ditarik stimulasi mental melalui database tak berujung dan informasi yang tersedia secara online), kewaspadaan, keterbukaan diri yang rendah, dan krakteristik nonkonformis.
Armstrong dkk (2000) menyelidiki sejauh mana sensasi dan rendahnya harga diri diprediksi dari pengguna internet berat, menggunakan Internet Related Problem Scale (IRPS). IRPS adalah skala 20 item, meliputi faktor-faktor seperti toleransi, keinginan, dan dampak negatif dari penggunaan internet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga diri adalah predictor yang lebih baik dari “kecanduan internet” dibandingkan dengan impulsive. Individu dengan harga diri yang rendah tampaknya menghabiskan lebih banyak waktu online, dan memiliki skor yang lebih tinggi pada IRPS.
Lavin dkk (1999) juga menguji pencarian sensari dan ketergantungan internet di kalangan mahasiswa (n = 342). Dari total peserta, 43 yang didefinisikan sebagai “ketergantungan” dan 299 “tidak ketergantungan”. Ketergantungan telah mencapai skor rendah pada Skala Pencarian Sensasi, yang bertentangan dengan hipotesis mereka. Para penulis menjelaskan dengan menyatakan ketergantungan cenderung bersosialisasi dalam penggunaan internet mereka tetapi tidak ke titik pencarian sensasi, karena berbeda dari konsep tradisional. Bentuk tradisional pencarian sensari melibatkan kegiatan fisik yang lebih, seperti skydiving dan kegiatan yang menimbulkan kesenangan, sedangkan pengguna internet kurang fisik dalam pencarian sensasi mereka. Hal ini memungkinkan bahwa Skala Pencarian Sensasi lebih menyentuh pada sensari fisik daripada sensasi non fisik.
Petrie dan Gunn (1998) meneliti hubungan antara kecanduan internet, jenis kelamin, umur, depresi, dan introversi. Satu pernyataan kunci adalah apakah peserta mendefinisikan diri mereka sebagai “pecandu” internet atau tidak. Dari 445 peserta (kira-kira sama perpecahan gender), hampir setengah (46%) menyatakan bahwa mereka “kecanduan” pada internet. Kelompok ini termasuk kedalam kelompok Self-Defined Addicts (SDAs). Tidak ada perbedaan jenis kelamin atau usia yang ditemukan antara SDAs dan non-SDAs. Enam belas pertanyaan yang memiliki faktor tertinggi beban analisis yang digunakan untuk membangun Internet Use and Attitudes Scale (IUAS).
Baru-baru ini, Mathy dan Cooper (2003) mengukur durasi dan frekuensi penggunaan internet dalam 5 domain, yaitu; perawatan kesehatan mental masa lalu, perawatan kesehatan mental masa kini, niat bunuh diri, serta masa lalu dan kesulitan perilaku saat ini. Ditemukan bahwa frekuensi penggunaan internet terkait dengan perawatan kesehatan mental masa lalu dan niat bunuh diri. Peserta yang mengakui mereka menghabiskan secara signifikan lebih banyak jam dalam seminggu untuk online. Durasi penggunaan internet terkait dengan kesulitan perilaku masa lalu dan saat ini. Peserta yang mengaku memiliki masalah perilaku masa lalu dan saat ini dengan alcohol, narkoba, perjudian, makanan, atau seks juga melaporkan menjadi pengguna internet yang relatif baru.
Black dkk (1999) berusaha untuk memeriksa demografi, fitur klinis, komorbiditas psikiatrik pada individu yang dilaporkan sebagai pengguna komputer kompulsif (n = 21). Mereka melaporkan pengeluaran antara 7 dan 60 jam seminggu pada penggunaan komputer non esensia (berarti = 27 jam seminggu). Hampir 50% dari peserta memenuhi kriteria untuk gangguan saat ini, dengan penggunaan paling umum adalah substansi (38%), suasana hati (33%), kecemasan (19%), dan gangguan psikotik (14%). Hampir 25% dari sampel memiliki gangguan depresi saat ini (depresi atau dysthymia). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 8 peserta (38%) memiliki setidaknya satu gangguan dengan yang paling umum adlaah pembelian yang kompulsif (19%), perjudian (10%), pyromania (10%), dan perilaku seksual kompulsif (10%). Tiga dari peserta melaporkan kekerasan fisik dan dua melaporkan pelecehan seksual selama masa kanak-kanak. Hasil lainnya menunjukkan bahwa 11 peserta memenuhi kriteria untuk setidaknya satu gangguan kepribadian, dengan yang paling sering perbatasan (24%), narsis (19%), dan gangguan antisosial (19%). Mungkin itu karena sifat sensitif dari studi khusus ini bahwa ada jumlah yang sangat kecil dari peserta.
Singkatnya, dan berdasarkan pada studi yang diuraikan disini, itu akan muncul bahwa ada berbagai ciri spesifik kepribadian, perilaku komodbiditas, dan karakteristik psikologis lain yang dapat mempengaruhi individu untuk mengembangkan beberapa jenis gangguan penggunaan internet yang berlebihan.  Namun, mengingat bahwa semua studi ini adalah cross-sectional, tidak ad acara untuk mengetahui apakah faktor-faktor ini didahului penggunaan berlebihan atau sebagai konsekuensi dari itu. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang lebih panjang untuk menguji hubungan ini lebih lengkap. Selain itu, seperti dengan banyak studi di daerah ini, banyak penelitian secara metodologis terbatas dan berdasarkan ukuran sampel yang relatif kecil. Oleh karena itu, studi replikasi membutuhkan kelompok yang jauh lebih besar.
STUDI KASUS KECANDUAN INTERNET
Young (1996b) menyoroti kasus seorang ibu rumah tangga berusia 43 tahun yang tampaknya kecanduan internet. Kasus ini khusus dipilih karena bertentangan dengan stereotip, pengguna komputer muda laki-laki mengetahui sebagai pecandu internet. Wanita tidak berorientasi teknologi, telah melaporkan puas dengan kehidupan rumah, dan tidak punya masalah kejiwaan sebelumnya atau kecanduan. Karena sifat berbasis menu dan user-friendly dari web browser yang disediakan oleh penyedia layanan, dia bisa menavigasi internet dengan mudah meskipun mengacu pada dirinya sendiri sebagai “fobia komputer dan buta huruf”. Dia awalnya menghabiskan beberapa jam seminggu di berbagai  ruang obrolan tapi dalam waktu 3 bulan, dia melaporkan kebutuhan meningkatkan waktu onlinenya hingga 60 jam seminggu. Dia akan berencana untuk pergi online selama 2 jam, tetapi sering tinggal secara online lebih lama dari yang dia maksudkan, mencapai hingga 14 jam sesi. Dia mulai menarik diri dari keterlibatan sosial offline-nya, berhenti melakukan pekerjaan rumah tangga untuk menghabiskan lebih banyak waktu online, dan dilaporkan merasa tertekan, cemas, dan mudah tersinggung ketika dia tidak online.
Black dkk (1999) juga menguraikan 2 studi kasus. Yang pertama adalah seorang pria berusia 47 tahun yang dilaporkan menghabiskan 12 sampai 18 jam sehari online. Dia memiliki 3 komputer pribadi dan ia memiliki hutang dari pembelian perlengkapan terkait. Dia mengakui untuk mengembangkan beberapa hubungan romantis online, meskipun sudah menikah dan memiliki 3 anak. Dia telah ditangkap beberapa kali untuk hacking komputer, ia menghabiskan sedikit waktu dengan keluarganya, dan dilaporkan merasa tidak berdaya atas penggunaannya. Kasus kedua adalah seorang pria bercerai berusia 42 tahun yang mengaku ingin menghabiskan sepanjang hari untuk online. Dia mengaku menghabiskan 30 jam seminggu secara online, yang sebagian besar ia menghabiskan ruang obrolan untuk membuat teman baru dan bertemu dengan mitra potensial.
Lebih menarik lagi, Leon dan Rotunda (2000) melaporkan 2 kontras studi kasus dari individu yang menggunakan internet selama 8 jam atau lebih sehari. Keduanya mahasiswa dan tidak mencari pengobatan. Yang pertama adalah kasus Neil, pria kulit putih 27 tahun yang digambarkan sebagai ramah dan bersosialisasi dengan teman-teman kuliahnya. Ia menemukan sebuah game komputer online yang disebut Red Alert selama tahun ketiga kuliah. Permainan mulai menggantikan kegiatan sosial dan ia mengubah pola tidur sehingga ia bisa bermain secara online dengan lainnya “good players”.Kasus kedua adalah dari Wu Quon, mahasiswa laki-laki valuta asing 25 tahun dari Asia yang memiliki sangat sedikit teman di Amerika Utara. Dia menyatakan bahwa itu adalah karena perbedaan budaya, dan kurangnya siswa Asia lainnya di perguruan tinggi. Dia membeli komputer pribadi, dan dia menggunakan internet untuk melakukan kontak dengan orang di seluruh dunia, membaca berita tentang negara asalnya, dan mendengarkan siaran radio dari Asia. Dia jua menggunakan Internet Relay Chat (IRC) untuk tetap berhubungan dengan teman dan keluarga di Cina.Dia menyatakan bahwa internet diduduki hidupnya di luar studi dan waktu perguruan tinggi, menghabiskan 8 jam sehari online. Dia mengatakan bahwa bisa menghubungi keluarga dan teman-teman setiap hari menghilangkan depresi dan kerinduannya.
MENGAPA PENGGUNAAN INTERNET YANG BERLEBIHAN BISA TERJADI?
Sebagian besar penelitian yang telah dibahas tampaknya kekurangan dasar teoritis sejak mengejutkan beberapa peneliti telah berusaha untuk mengusulkan teori penyebab kecanduan internet, meskipun sejumlah penelitian telah dilakukan di lapangan. Davis (2001) mengusulkan model etiologi Pathological Internet Use (PIU) menggunakan pendekatan perilaku kognitif. Asumsi utama dari model ini adalah bahwa PIU dihasilkan dari kognisi bermasalah ditambah dengan perilaku yang mengintensifkan atau mempertahankan respon maladaptif. Ini menekankan pikiran individu / kognisi sebagai sumber utama perilaku abnormal. Davis menetapkan bahwa gejala kognitif PIU mungkin sering mendahului dan menyebabkan gejala emosional dan perilaku bukan sebaliknya.Serupa dengan asumsi dasar teori kognitif depresi, berfokus pada kognisi maladaptif berhubungan dengan PIU.
Model diasumsikan bahwa meskipun psikopatologi dasar mungkin mempengaruhi seorang individu untuk PIU, sekumpulan gejala terkait adalah spesifik untuk PIU dan karena itu harus diselidiki dan diobati secara independen. Stressor dalam model ini adalah pengenalan Internet, atau penemuan fungsi tertentu dari internet. Meskipun mungkin sulit untuk melacak kembali pertemuan individu dengan internet, peristiwa yang lebih diuji akan menjadi pengalaman fungsi yang ditemukan online, misalnya, pertama kali orang menggunakan sebuah lelang online atau menemukan materi pornografi online.Faktor kunci di sini adalah penguatan yang diterima dari suatu peristiwa (yaitu, pengkondisian operan, dimana respon positif diperkuat kelangsungan aktivitas).Model yang diusulkan bahwa rangsangan seperti suara modem menghubungkan atau sensasi mengetik bisa mengakibatkan respon terkondisi. Dengan demikian, jenis reinforcers sekunder dapat bertindak sebagai isyarat situasional yang berkontribusi terhadap perkembangan PIU dan pemeliharaan gejala.
Berdasarkan model Davis, Caplan (2003) lebih lanjut mengemukakan bahwa kecenderungan psikososial bermasalah menyebabkan berlebihan dan kompulsif Computer Mediated (CM) interaksi sosial pada individu, dimana, pada gilirannya, meningkatkan masalah mereka. Teori yang diusulkan oleh Caplan, diperiksa secara empiris, memiliki tiga proposisi utama:
·  Individu dengan masalah psikososial (misalnya, depresi dan kesepian) berpegang pada persepsi negatif kompetensi sosial mereka dibandingkan dengan orang lain.
·  Mereka lebih memilih interaksi CM daripada yang tatap muka karena sebelumnya yang dianggap kurang mengancam dan orang-orang menganggap diri mereka untuk menjadi lebih efisien dalam pengaturan online.
· Preferensi ini, pada gilirannya, menyebabkan penggunaan berlebihan dan kompulsif interaksi CM, yang kemudian memperburuk masalah mereka dan menciptakan yang baru di sekolah, bekerja, dan rumah.

Caplan mencatat terdapat dua hasil yang tak terduga dalam data. Pertama, kesepian memainkan peran yang lebih signifikan dalam pengembangan penggunaan internet bermasalah dibandingkan dengan depresi. Dia berusaha untuk menjelaskan temuan ini dengan menyatakan bahwa kesepian adalah secara teoritis prediktor yang lebih menonjol, karena persepsi negatif kompetensi dan kemampuan komunikasi sosial akan lebih parah pada individu kesepian. Di sisi lain, berbagai keadaan yang mungkin tidak berkaitan dengan kehidupan sosial seseorang dapat mengakibatkan depresi (misalnya, pengalaman traumatis). Kedua, menggunakan internet untuk mengubah suasana hati ditemukan kurang dalam pengaruh pada hasil negatif. Misalnya, diusulkan oleh Caplan adalah bahwa ada berbagai keadaan dimana individu menggunakan internet untuk mengubah suasana hati mereka, dan penggunaan yang berbeda dari internet akan menyebabkan perubahan suasana hati yang berbeda. Misalnya, bermain game online akan menarik dan menyenangkan, saat membaca berita bisa santai. Oleh karena itu, dalam dirinya sendiri, menggunakan internet untuk mengubah suasana hati mungkin tidak selalu mengarah pada konsekuensi negatif yang terkait dengan preferensi untuk interaksi sosial online, penggunaan yang berlebihan dan kompulsif, dan mengalami penarikan psikologis.